Identifikasi Jenazah Korban Ponpes Terhambat Karena Banyak yang Belum Punya KTP

Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jawa Timur menghadapi sejumlah tantangan dalam proses identifikasi jenazah korban ambruknya sebuah pondok pesantren di Sidoarjo. Salah satu hambatan utama yang diidentifikasi adalah banyaknya korban yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP), yang menyebabkan kesulitan dalam proses identifikasi.

Kaurkes Kamtibmas Subdit Dokpol Biddokes Polda Jatim, Kompol Naf’an, menjelaskan bahwa tim DVI telah melakukan pengambilan data antemortem dan postmortem. Namun, hingga saat ini, belum ditemukan kecocokan antara kedua data tersebut, yang menghambat proses identifikasi selanjutnya.

“Tingkat kesulitannya adalah di antaranya rata-rata belum ber-KTP. Sebagai pembanding, kita berusaha meminta dokumen seperti raport atau ijazah yang ada cap jempol atau sidik jarinya,” ujarnya dalam konferensi pers.

Proses Identifikasi yang Rumit dan Tantangannya

Dalam situasi yang penuh tantangan ini, kondisi jenazah juga berperan dalam memperumit proses identifikasi. Banyak jenazah telah mengalami pembusukan, sehingga pengambilan sidik jari menjadi tidak bisa dilakukan secara maksimal.

Untuk memastikan identitas korban, tim DVI telah melakukan pengambilan sampel DNA dari sembilan jenazah yang ada di RS Bhayangkara Surabaya. Proses ini melibatkan pengiriman sampel DNA ke Pusat Laboratorium DNA Pusdokkes Polri di Jakarta Timur untuk analisis lebih lanjut.

“Kami juga sudah melakukan pengambilan sampel DNA pendamping dari orang tua para korban,” tambah Naf’an. Proses pengambilan sampel ini penting guna memastikan kesesuaian data yang ada.

Prosedur dan Metode Identifikasi Jenazah

Naf’an menjelaskan bahwa proses identifikasi jenazah terdiri dari dua tahap, yaitu identifikasi primer dan sekunder. Identifikasi primer dilakukan melalui pemeriksaan sidik jari dan gigi, sedangkan jika tidak ditemukan kecocokan, pemeriksaan DNA akan menjadi pilihan terakhir.

“Jika dari kedua metode tersebut tidak ditemukan kecocokan, kita akan melakukan pengambilan sampel DNA,” jelasnya. Proses ini sangat penting agar identitas para korban dapat diungkapkan dengan jelas.

Waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan DNA berkisar antara dua hingga tiga minggu, tergantung pada kompleksitas kasus. Hal ini bisa menjadi faktor penghambat, terutama ketika ada banyak korban yang harus diselidiki.

Pentingnya Kerjasama dan Data Pendukung

Untuk mempercepat proses identifikasi, tim DVI juga telah mengumpulkan data antemortem dari 57 orang tua yang diduga memiliki hubungan keluarga dengan para korban. Kerjasama antara pihak berwenang dan keluarga sangat penting dalam situasi ini.

“Data dari keluarga akan sangat membantu dalam mempercepat proses identifikasi,” ungkap Naf’an. Selain itu, bukti dari dokumen administrasi keluarga juga menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mendukung proses ini.

Keberadaan data yang akurat dari keluarga sangat penting untuk mempercepat proses pencocokan antar data. Dengan adanya informasi tersebut, diharapkan tim DVI dapat mengatasi kendala yang ada.

Related posts