Di tengah sorotan tajam atas kerusuhan yang melanda Indonesia pada akhir Agustus dan awal September 2025, jajaran kepolisian di berbagai daerah mengambil langkah tegas. Salah satu tindakan yang kini mencuri perhatian adalah penyitaan sejumlah buku oleh pihak kepolisian sebagai barang bukti di tengah proses hukum berbagai kasus yang terjadi.
Berbagai buku ini, yang diduga terkait dengan pengaruh ideologis terhadap aksi anarkis, menimbulkan perdebatan mengenai kebebasan berpendapat dan batasan hukum. Dalam konteks ini, tindakan kepolisian menandai momen penting dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap stabilitas sosial.
Penyitaan Buku di Polda Metro Jaya dan Implikasinya
Polda Metro Jaya menjadi salah satu instansi kepolisian yang melakukan penyitaan buku-buku terkait kerusuhan. Pihak kepolisian telah menetapkan 43 tersangka dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta. Pertemuan pers pada 4 September lalu menjadi momen di mana penyidik menjelaskan tentang klaster-klaster tersangka, membagi mereka antara penghasut dan pelaku vandalisme.
Salah satu hasil penggeledahan adalah penemuan sejumlah buku di kantor Lokataru. Buku-buku yang disita berisi informasi dan analisis yang dianggap relevan dengan kerusuhan tersebut. Penjelasan kepolisian mengungkapkan bahwa mereka melakukan penggeledahan untuk mendalami lebih lanjut keterlibatan para tersangka.
Ade Ary, Kabid Humas Polda Metro Jaya, menjelaskan bahwa langkah penyitaan ini diambil demi kepentingan penyidikan dan sebagai upaya menjaga keamanan. Dengan terbongkarnya berbagai motif di balik demonstrasi yang berujung rusuh, diharapkan masyarakat bisa lebih memahami proses di balik penegakan hukum ini.
Polda Jawa Timur dan Kasus Kerusuhan di Surabaya
Polda Jawa Timur juga tak kalah aktif dalam memperkuat tindakan hukum terhadap kerusuhan. Sebanyak 11 buku diambil dari massa aksi demonstrasi yang menjadi bagian dari kericuhan di Surabaya dan Sidoarjo. Penyitaan ini dilakukan setelah pihak kepolisian menangkap 18 orang yang terlibat dalam penyerangan petugas.
Saat melakukan penyelidikan, pihak kepolisian menemukan buku-buku yang berisi pandangan anarkis di kediaman salah satu tersangka. Penemuan tersebut menambah kompleksitas terhadap keterlibatan tersangka dalam peristiwa kerusuhan. Penyidik percaya bahwa buku bacaan tersebut berpengaruh pada pola pikir yang mendasari tindakan anarkis mereka.
Salah satu buku yang mencuri perhatian adalah ‘Anarkisme’ oleh Emma Goldman, yang diidentifikasi sebagai penyebab potensial untuk mengubah pola pikir individu. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman atas bahan bacaan yang bisa membentuk pandangan seseorang dalam konteks sosial.
Polda Jawa Barat dan Dampak Terhadap Pelanggaran Hukum
Polda Jawa Barat mencatat kejadian serupa dengan mengamankan 26 orang yang terlibat dalam aksi anarki selama demonstrasi. Mereka diduga telah merencanakan kerusuhan yang lebih besar, menggunakan metode seperti bom molotov dan alat penghancur lainnya. Dalam penangkapan ini, pihak kepolisian juga menemukan berbagai buku yang berkaitan dengan metode dan ideologi anarkis.
Di antara barang bukti yang disita terdapat sejumlah buku yang berisi tentang strategi kerusuhan dan kekacauan sosial. Pengacara dan aktivis menanggapi bahwa tindakan penyitaan ini bisa menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi. Buku-buku tersebut, meskipun dianggap kontroversial, juga menyimpan nilai akademis yang penting untuk dibahas.
Dalam konteks ini, masyarakat diharapkan untuk lebih kritis terhadap penyebab dari setiap tindakan yang dianggap melawan hukum. Proses hukum yang sedang berlangsung menjadi penting untuk menciptakan kesadaran sosial akan hak dan tanggung jawab individu dalam konteks kebebasan berpendapat.
Pentingnya Pemahaman Terhadap Kebebasan Berekspresi
Penyitaan buku memunculkan perdebatan mendalam tentang batasan antara kebebasan berekspresi dan keamanan publik. Di satu sisi, hukum memberikan hak kepada negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial, tetapi di sisi lain, perlindungan terhadap kebebasan berpendapat adalah fondasi dari demokrasi. Sekarang, tantangannya adalah bagaimana menemukan keseimbangan antara kedua hal tersebut.
Pihak kepolisian yakin bahwa buku-buku yang disita dapat mengungkap pola pikir dan tindakan para terduga, namun masyarakat diharapkan tidak mengabaikan konteks akademis dari karya-karya tersebut. Buku juga bisa menjadi alat untuk memahami dan menganalisis berbagai kondisi sosial yang ada.
Dengan meningkatnya ketegangan di masyarakat, menjadi penting untuk mendiskusikan isu-isu terkait kebebasan berpendapat. Tanpa dialog terbuka, akan sulit untuk mencapai pemahaman yang berkesinambungan antara kepentingan keamanan dan perlindungan hak asasi manusia.