Merayakan Natal Dapat Mengakibatkan Hukum Mati di Negara Ini, Mengapa?

Peringatan hari Natal akan segera tiba, sebuah momen yang dirayakan dengan penuh suka cita oleh umat Kristiani di seluruh dunia. Namun, di Korea Utara, situasi sangat berbeda di mana perayaan itu dilarang dan nelayan berani merayakan bisa menghadapi konsekuensi yang sangat serius.

Korea Utara dikenal sebagai negara yang sangat mengekang kebebasan beragama, dengan penguasa yang menganut ideologi Juche. Meski ada sejumlah kecil warga negara yang berusaha memeluk agama secara diam-diam, tindakan tersebut adalah risiko yang sangat tinggi.

Seorang mantan warga Korea Utara bernama Kang Jimin menceritakan pengalaman hidupnya di negara yang tidak mengenal Natal. Menurutnya, masyarakat di sana sama sekali tidak menyadari makna hari kelahiran Yesus Kristus dan lebih mengenal pemimpin mereka sebagai sosok yang layak dihormati.

Sejarah Agama Kristen di Korea Utara dan Perubahannya

Di masa lalu, Korea Utara dikenal sebagai negara dengan populasi Kristen yang signifikan. Sebelum terjadinya Perang Korea, banyak orang dari wilayah utara memeluk agama tersebut dengan penuh semangat. Bahkan, Korea Utara disebut sebagai ‘Jerusalem di Timur’ pada zaman itu.

Namun, pengaruh ideologi komunis yang semakin menguat menyebabkan banyak perubahan. Jimin menekankan bahwa meskipun tampak seolah semua perayaan agama dilarang, masih ada segelintir warga yang diam-diam menjalani keyakinan mereka yaitu Kristen.

Semangat keagamaan ini, meskipun terkubur dalam ketakutan, tetap berlanjut hingga saat ini. Banyak yang tahu bahwa jika diketahui, mereka dapat berhadapan dengan hukuman yang sangat berat, bahkan kehilangan nyawa.

Peluang dan Tantangan untuk Masyarakat Kristen di Korea Utara

Laporan tentang penangkapan anggotanya bukan hal yang jarang terjadi. Sebuah keluarga yang teridentifikasi sebagai pengikut Kristiani baru-baru ini menghadapi penangkapan dan sejumlah dari mereka diduga telah meninggal di dalam penjara. Ini menunjukkan betapa berbahayanya bagi mereka yang ingin memeluk agama.

Sikap keras pemerintah terhadap agama membuat banyak orang lebih memilih untuk menyimpan keyakinan mereka dalam diam. Keluarga-keluarga yang berani mengungkapkan iman mereka terpaksa bersembunyi, meskipun dalam hati, mereka tetap percaya.

Teman Jimin yang bertugas di polisi rahasia pun mengonfirmasi bahwa pihak berwenang masih melakukan operasi untuk menangkap mereka yang berusaha mengajak orang lain untuk menjalani agama yang berbeda. Ini adalah tanda ketidakpercayaan yang mendalam terhadap agama di masyarakat saat itu.

Keberadaan Gereja dan Pengaruh Negara di Korea Utara

Meskipun kebebasan beragama dibatasi, ada beberapa gereja yang diizinkan beroperasi di Korea Utara. Namun, gereja-gereja ini sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah dan banyak di antaranya tidak berfungsi sebagai tempat ibadah yang sebenarnya. Data menunjukkan ada 121 fasilitas keagamaan, tetapi ini lebih bersifat simbolis.

Gereja yang ada sering kali hanya dijadikan sebagai atraksi turis. Pengunjung yang datang tidak dapat berinteraksi dengan jemaat atau merasakan pengalaman beribadah yang otentik. Ini menciptakan kesan bahwa Korea Utara menjunjung tinggi kebebasan beragama, padahal realitasnya jauh berbeda.

Kalaupun ada yang ingin menunjuk gereja kepada turis, mereka hanya akan menunjukkan fasilitas yang tidak mencerminkan keagamaan yang sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah berusaha menciptakan citra positif kepada dunia luar, sementara realita di dalamnya sangat berbeda.

Related posts