Hujan deras yang mengguyur Aceh Tamiang pada akhir November mengakibatkan bencana yang menyedihkan. Korban jiwa dan harta benda tak terelakkan, namun ada kisah-kisah kemanusiaan yang menyentuh, seperti kisah Aisha, perempuan berusia 63 tahun yang terjebak dalam kegelapan bencana ini.
Di tenda pengungsian, kehidupan berjalan lambat, sementara rindu dan kenangan berputar dalam benak para pengungsi. Dalam suramnya harapan, Muhamad Asan, suami Aisha, terpaksa menghadapi kenyataan pahit kehilangan orang yang dicintainya.
“Aisha tidak ada,” ujarnya dengan lirih. Kata-kata itu penuh dengan kesedihan dan beratnya kehilangan, mencerminkan betapa rapuhnya saat-saat seperti ini.
Keberadaan Banjir dan Dampak terhadap Masyarakat
Banjir yang melanda membuat banyak warga Aceh kehilangan tempat tinggal. Harta benda hanyut, dan akses terhadap layanan kesehatan pun terputus, meninggalkan mereka dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam beberapa hari, keadaan semakin memburuk, menyisakan kesedihan dan kepanikan di antara para pengungsi.
Pemerintah dan berbagai organisasi kemanusiaan berusaha mendirikan tenda-tenda pengungsian, namun fasilitas yang ada masih jauh dari cukup. Banyak warga yang menderita penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi, yang memerlukan perawatan medis tepat waktu.
Beberapa waktu setelah banjir mereda, banyak yang mulai menyelidiki nasib orang-orang yang hilang. Informasi tentang korban terus bertambah, menyiratkan betapa besar dampak yang ditinggalkan bencana ini.
Perjuangan Menghadapi Bencana yang Menghancurkan
Berbagai kisah tragis muncul dari reruntuhan, terutama kisah Aisha. Ia telah lama berjuang melawan diabetes dan sangat bergantung pada obat-obatan. Namun, saat banjir datang, semua terganggu, dan tak ada obat yang bisa menyelamatkan hidupnya.
Dalam kepanikan evakuasi, keluarga Aisha tidak sempat membawa barang-barang penting. Mereka berlari, hanya mengenakan pakaian seadanya, berharap selamat dari derasnya air. Kesehatan Aisha cepat menurun setelah mengungsi.
Suaminya, Asan, mencatat setiap perubahan yang terjadi pada istrinya selama di pengungsian. Ketidakpastian dan kesedihan membayangi mereka saat Aisha merindukan rumah yang telah hancur.
Kehilangan dan Harapan di Tengah Bencana
Ketika Aisha menghembuskan napas terakhirnya, Asan merasa seolah dunia runtuh. Tanpa bantuan medis yang memadai, Aisha pergi jauh dari tempat yang seharusnya nyaman dan aman. Itu adalah momen kehilangan yang tak terbayangkan dalam hidupnya.
Sesaat sebelum kepergiannya, Aisha merindukan rumah dan semua kenangan yang pernah ada. Asan berusaha menenangkan istri tercintanya, namun kata-kata pun tak cukup untuk menanggulangi rasa sakit itu.
Kehilangan Aisha menjadi simbol dari banyaknya korban yang terabaikan, yang berkisar pada sakit dan kehilangan di tengah bencana. Setiap angka korban memiliki kisah dan perjalanan hidupnya sendiri.
