Film horor yang berlandaskan tema Alkitab bertajuk “The Carpenter’s Son” telah dilarang untuk diputar di Filipina. Menerima rating X dari Badan Peninjauan dan Klasifikasi Film dan Televisi (MTRCB), film ini menjadi sorotan karena kontennya dianggap terlalu eksplisit dan tidak pantas untuk penayangan umum.
Di Filipina, rating X berarti film tersebut tidak layak ditayangkan di bioskop atau televisi, yang menunjukkan adanya unsur kekerasan ekstrem atau materi yang bisa menyinggung. Larangan ini muncul setelah film mengalami dua kali peninjauan terpisah oleh MTRCB.
Pihak MTRCB menjelaskan bahwa pelanggaran terjadi berdasarkan Pasal dari Keputusan Presiden No. 1986 dan No. 960. Aturan ini mengatur batasan terhadap konten yang dinilai menyinggung nilai-nilai agama dan budaya di Filipina.
Film “The Carpenter’s Son” mengisahkan seorang tukang kayu dan keluarganya yang hidup di desa Mesir. Dengan latar yang tenang, mereka mendapati diri mereka terjebak dalam fenomena spiritual yang mengguncang keyakinan masyarakat sekitar.
Sekilas, cerita ini terinspirasi dari Infancy Gospel of Thomas, sebuah teks Gnostik yang dianggap sesat. Di dalam film, Yesus muda digambarkan sebagai sosok yang terkadang tampak jahat atau terpengaruh sisi gelap, yang menyimpang dari pandangan tradisional Kristen.
Respon negatif terhadap film ini muncul, terutama karena cara penceritaannya yang dianggap menghujat. MTRCB menyatakan bahwa elemen-elemen dalam film bisa menyinggung perasaan masyarakat yang mayoritas beragama Kristen.
Kontroversi dan Reaksi Terhadap Film di Filipina
Kontroversi seputar “The Carpenter’s Son” tidak hanya terletak pada isi ceritanya. Banyak yang berpendapat bahwa cara penceritaan yang melawan norma agama ini bisa mengakibatkan ketegangan dalam masyarakat yang religius. Penilaian MTRCB menekankan bahwa unsur kekerasan dan penggambaran tokoh suci dalam konteks yang merendahkan adalah alasan kuat bagi rating X yang diperoleh.
Penyutradaraan oleh Lotfy Nathan menghadirkan film ini dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam pandangannya, film ini berusaha menceritakan sisi lain dari cerita yang sudah umum diketahui, namun tetap menimbulkan reaksi negatif dari sebagian kalangan religius.
Film ini juga menekankan pada peran ikon dan citra suci dalam konteks yang kontroversial. MTRCB khawatir bahwa penggunaan ikonografi ini dapat dianggap sebagai penghinaan, bukan sebagai bentuk seni. Pandangan ini didasarkan pada kepekaan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual yang ada dalam kebudayaan mereka.
Audien yang religius mungkin akan merasa terganggu oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan akidah yang mereka anut. Keputusan MTRCB yang mengklasifikasikan film ini sebagai film ber-rating X menunjukkan upaya institusi tersebut untuk melindungi moralitas publik dan menghormati keyakinan agama.
Pihak distributor sempat melakukan revisi terhadap film ini demi mendapatkan izin pemutaran. Namun, setelah ditinjau kembali oleh komite yang berbeda, hasilnya tetap memberikan rating X, menunjukkan kegigihan MTRCB terhadap standar penilaian mereka.
Pernyataan Sutradara Mengenai Filmnya
Lotfy Nathan, selaku sutradara, menyatakan bahwa film yang dia buat tidak dimaksudkan untuk menyampaikan pesan secara tersembunyi. Menurut Nathan, meskipun karakter utama tidak disebutkan secara langsung sebagai Yusuf, Maria, dan Yesus, mereka diharapkan tetap bisa dikenali oleh penonton.
Nathan berpendapat bahwa pendekatan yang diambilnya bertujuan untuk mengeksplorasi kisah Yesus dengan cara yang berbeda. Ini memberikan nuansa yang unik dalam pengisahan yang telah banyak diinterpretasikan sebelumnya di film-film konvensional.
Menurutnya, ada cara bercerita yang lebih steril dan konvensional tentang kisah-kisah religius. Dia menginginkan sesuatu yang menarik dan berbeda, meskipun memahami bahwa hal tersebut bisa mendapat kecaman dari kelompok-kelompok religius.
Dengan adanya tanggapan negatif, Nathan tetap meyakini bahwa yang benar-benar melihat film ini mungkin akan memberikan pandangan yang berbeda. Dia percaya bahwa berbagai sekte Kristen akan melihat penggambaran Yesus yang lebih manusiawi di dalamnya.
Dia juga menegaskan bahwa film ini tidak berniat untuk menyinggung perasaan, melainkan lebih kepada eksplorasi naratif yang memberikan berbagai perspektif. Nathan berharap bahwa penonton dapat melihat sisi kemanusiaan di dalam karakter yang dia gambarkan.
Tema dan Unsur Film yang Ditangkap Masyarakat
Salah satu isu terbesar dalam “The Carpenter’s Son” adalah bagaimana film ini menyajikan aspek spiritual dengan cara yang berbeda dan cukup berani. Penggambaran yang diambil bisa menantang paradigma umum yang sudah terbentuk di masyarakat. Hal ini membuat film tersebut lebih kontroversial dan menarik perhatian banyak pihak.
Film ini berhasil menciptakan perdebatan di kalangan penonton dan kritikus film, termasuk dalam diskusi mengenai kebebasan berekspresi. MTRCB berusaha mempertahankan batasan untuk melindungi nilai-nilai moral yang diyakini masyarakat yang mayoritas religius.
Dari sudut pandang masyarakat, ada kekhawatiran bahwa konten yang dinilai melanggar nilai-nilai agama dapat mengganggu ketenangan dan harmoni sosial. Masyarakat menginginkan konten yang bermanfaat dan tidak menyinggung, terutama dalam film yang berhubungan dengan narasi agama.
Akhirnya, film ini menjadi pengingat pentingnya dialog antara kebebasan berkarya dan norma-norma sosial yang ada. Proses kreatif dan penilaian moral dapat menciptakan ketegangan, dan “The Carpenter’s Son” adalah contoh menonjol dari fenomena ini.
Meskipun dilarang, film ini tetap menarik perhatian banyak orang dan menjadi titik pembicaraan di kalangan pecinta film, menimbulkan berbagai respons dan pandangan dari berbagai lapisan masyarakat. Karya ini menunjukkan kekuatan film dalam membangkitkan refleksi sosial dan spiritual.
