Keraton Surakarta Hadiningrat saat ini berada dalam kondisi yang penuh dinamika setelah kematian Pakubuwono XIII. Dua klaim sebagai penerus takhta muncul, mengarah pada perpecahan yang serupa dengan yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.
Dalam sebuah upacara adat yang megah, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, atau lebih dikenal sebagai Gusti Purbaya, resmi diangkat sebagai Pakubuwono XIV. Proses serah terima ini dilakukan dengan penuh prosesi di Keraton Surakarta, menandai awal era baru dalam lingkungan kerajaan.
Prosesi Pelantikan dan Janji yang Diteguhkan
Pelantikan Gusti Purbaya dilakukan melalui upacara Jumenengan Dalem Nata Binayangkare, berlangsung di Bangsal Manguntur Tangkil. Dalam kesempatan tersebut, Gusti Purbaya menyampaikan sumpah jabatannya di hadapan kerabat dan pengikut setia di keraton.
Sebagai bentuk penghormatan, dia melakukan pengesahan diri sebagai penerus ayahnya di depan jenazah Pakubuwono XIII, menandakan kesinambungan tradisi di keraton. Upacara ini juga memberikan kesempatan bagi penganut budaya dan pengagum keraton untuk menyaksikan momen bersejarah tersebut.
“Saya, menjabat sebagai Sri Susuhunan di Keraton Surakarta Hadiningrat dengan sebutan Sampeyan Dalem Ingkang Susuhunan Kanjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama kang Jumeneng Kaping 14,” ujarnya lugas ketika memulai mandat barunya.
Dalam pelantikan ini, ia juga mengucapkan tiga janji yang menunjukkan komitmennya. Pertama, ia akan memimpin berdasarkan syariat Islam dan hukum adat yang berlaku di Keraton Surakarta.
Janji kedua menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, menegaskan betapa pentingnya rasa cinta tanah air dalam kepemimpinannya. Janji terakhir adalah melestarikan budaya Jawa, khususnya warisan dari dinasti Mataram Islam.
Klaim Bertentangan: Tahu Siapa Pewaris Sejati?
Namun, di balik pelantikan tersebut muncul tantangan dari saudara Purbaya, yakni KGPH Mangkubumi, yang juga mengklaim sebagai pewaris sah takhta. Mangkubumi mendasarkan klaimnya pada hukum adat yang diyakini oleh beberapa pihak di keraton.
Menariknya, klaim ini berakar pada ketidakpuasan beberapa anggota keluarga terhadap proses suksesi yang tidak melibatkan mereka. Hal ini mengantarkan mereka pada sebuah pertemuan di Sasana Handrawina, yang berlangsung beberapa hari setelah pelantikan Purbaya.
Pertemuan tersebut menyoroti kompleksitas hak waris dan tradisi di dalam lingkungan keraton. Dalam acara ini, Mangkubumi dinyatakan sebagai Pangeran Pati, yang membuat situasi semakin jelas dengan adanya dua klaim yang saling bertentangan.
Dengan hanya dua dari enam anak Pakubuwono XIII yang hadir, situasi ini menciptakan tandingan yang berat bagi Gusti Purbaya. Mangkubumi pun mengumumkan dengan tegas bahwa dirinya siap untuk meraih takhta sebagai SISKS Pakubuwono XIV.
Kedua pihak kini bersiap untuk menghadapi tantangan dan kemungkinan konsekuensi dari dualisme yang mungkin akan terjadi di keraton. Situasi ini membuat masyarakat dan para pengamat budaya semakin penasaran tentang nasib keraton ke depannya.
Dinamika Politik di Dalam Keraton Surakarta
Dinamika yang terjadi di keraton Surakarta mencerminkan konflik menarik antara tradisi dan modernitas. Dalam banyak hal, pengangkatan raja seharusnya menjadi proses yang sederhana, namun kenyataannya tidak sedemikian rupa.
Perpecahan ini mengingatkan kita pada situasi serupa yang pernah ada sebelumnya di tahun 2004. Saat itu, dua orang yang berbeda, KGPH Hangabehi dan KGPH Tejowulan, juga saling klaim secara terbuka sebagai Pakubuwono XIII.
Pada waktu itu, ketidakjelasan mengenai posisi pewaris takhta di dalam keluarga menyebabkan ketegangan dan gesekan yang cukup signifikan. Situasi yang sama terjadi dalam konteks keraton saat ini.
Dalam situasi tersebut, Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri meskipun memiliki anak laki-laki, ini menambah kompleksitas pilihan pewaris. Dengan sejarah perebutan takhta yang panjang dan berliku, keraton Surakarta kembali berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah.
Di tengah pengakuan dan tradisi yang kuat, masyarakat keraton tentu berharap agar para pemimpin dapat mencari jalan damai dan menyelesaikan perselisihan ini. Ini adalah langkah penting untuk menjaga harmoni dan keutuhan institusi yang memiliki peran signifikan dalam sejarah Jawa.
