Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh penangkapan seorang aktivis asal Yogyakarta, M Fakhrurrozi, yang lebih dikenal dengan nama Paul. Penangkapan dilakukan oleh aparat kepolisian dan saat ini Paul ditahan di Polda Jawa Timur, Surabaya. Kejadian ini memicu reaksi dari berbagai kalangan, terutama mereka yang peduli terhadap kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia.
Direktur LBH Surabaya, Habibus Shalihin, menjelaskan bahwa penangkapan tersebut berlangsung pada Sabtu malam. Kumpulan tim advokat hingga saat ini masih berupaya untuk memberikan pendampingan hukum kepada Paul di lokasi penahanannya.
Saat dikonfirmasi, Habibus menyatakan bahwa informasi mengenai penangkapan Paul sangat mengejutkan. Pasalnya, mereka baru tiba di Polda Jatim dan baru bertemu Paul setelah menempuh perjalanan panjang dari Yogyakarta.
Proses Penangkapan Aktivis dan Laporan Polisi
Menurut keterangan yang diperoleh, Paul ditangkap berdasarkan laporan polisi yang dikenal dengan istilah Laporan Polisi Model A. Laporan ini dibuat oleh aparat kepolisian sendiri ketika mereka mendapati peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
Habibus mengungkapkan bahwa penangkapan Paul berkaitan dengan dugaan keterlibatan dalam aksi demonstrasi yang terjadi di Kediri pada 30 Agustus 2025. Penangkapan ini menggiring opini publik bahwa tindakan represif terhadap aktivis semakin meningkat.
Lebih lanjut, Habibus menerangkan bahwa Paul diduga melanggar beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tuduhan yang diarahkan kepadanya mencakup penghasutan, penghancuran, dan peristiwa kebakaran yang dianggap membahayakan masyarakat.
Pelanggaran Prosedur Hukum Dalam Penangkapan
Habibus menegaskan bahwa penangkapan ini tidak sesuai dengan prosedur hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sesuai dengan hukum yang berlaku, seharusnya Paul menerima pemanggilan sebelum ditangkap.
Berdasarkan pasal 17 KUHAP, sebagai syarat hukum, penangkapan harus disertai dengan dua alat bukti yang sah serta surat perintah penangkapan. Namun, Paul merasa tidak mendapatkan kejelasan mengenai statusnya terkait pihak kepolisian.
LBH Surabaya menilai bahwa penetapan status tersangka terhadap Paul menyalahi ketentuan yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK tahun 2014 mengatur bahwa penetapan tersangka memerlukan minimal dua alat bukti dan pemanggilan sebagai saksi.
Dampak Penangkapan Terhadap Kebebasan Berekspresi
Penangkapan Paul menunjukkan keberanian aparat untuk membungkam aktivis yang suaranya dianggap mengganggu. Ini mengundang perhatian luas dari masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia yang menekankan pentingnya kebebasan berekspresi.
Sejumlah organisasi juga menyoroti bahwa penangkapan ini merupakan peringatan bagi aktivis lain yang berjuang untuk keadilan sosial. Tindakan represif seperti ini sangat berisiko bagi pelaksanaan demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Situasi ini menjadi pengingat bagi banyak orang tentang betapa pentingnya menjaga hak-hak sipil dalam masyarakat. Setiap tindakan yang diambil oleh pemerintah seharusnya melindungi, bukan mengekang, suara rakyat.